Kamis, 26 Maret 2009

Tadbir dan Adab Sebagai Kerangka Teori Manajemen Islam

Maklum di khayalak ramai, terutama khayalak dengan latar pendidikan ekonomi atau yang berkecimpung di area bisnis, ketika ditanyakan, “apa itu manajemen?” Maka mereka akan kompak menjawab, “manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan (PODC, dalam istilah lebih popular POAC) sumber daya perusahaan untuk mencapai sasarannya”(2). Menurut KBBI dan Kamus Encarta juga mirip seperti itu.
Berbeda dengan jawaban diatas, Peter Drucker menyatakan, “Management is about human beings”(3). Manajemen berkisar pada aktivitas manusia untuk mampu mengerjakan tugasnya, untuk membuat kekuatannya efektif dan kelemahannya tertutupi. Dengan pengertian Drucker, manajemen inheren ada pada manusia, dan bukan lahir dari Perang Dunia I ketika banyak negara sedang berpikir tentang “manajemen” menyerang dan mempertahankan diri dari serangan negara lawan. Oleh itu, pengertian yang benar akan manajemen perlu untuk dipahami oleh praktisi manajemen, dalam kasus ini, semua manusia.

Konsep Tadbir
Manajemen, administrasi, governance, dalam bahasa arab sebagai salah satu arti dari kata “tadbir”, bentuk masdar (verbal noun) dari kata kerja “dabbara al-‘amr”, untuk menyelesaikan urusan sampai akhir. Pengertian istilah yang komprehensif diberikan oleh al-Sayyid al-Sharif ‘Ali al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya al-Ta’rif: “al-tadbir al-nazar fi al-‘awaqib bi ma’rifat al-khayr”, menguji/memeriksa akibat-akibat (hasil) dengan mengetahui apa yang baik. Dan, menaruh perkara dengan pertimbangan ilmu tentang akibat-akibat yang dihasilkan (Ijra’ al-‘umur ‘ala ‘ilm al-‘awaqib).
Zaidi merumuskan kembali definisi tadbir sebagai: “pertimbangan seksama intelektual atas akibat (hasil) dari sebuah urusan, kemudian diikuti dengan implementasi jika akibat tersebut adalah baik-tepat atau penolakan jika hasil diperkirakan akan buruk.”(4)
Dengan pengertian tersebut, ada dua aspek penting tadbir dalam pemahaman pemikir muslim otoritatif: Satu, sentralitas hasil akhir (outcomes) dan proses menuju kepadanya, yang oleh itu disebut tadbir. Dua, proses yang dilakukan dan tujuan yang diharapkan merupakan sesuatu yang baik (khayr). Baik bukan dalam arti memilih sesuatu diantara banyak pilihan, tetapi baik dalam arti mencari yang tepat-baik (praiseworthy). Disini, tadbir didasarkan pada adab.
Kata tadbir memang tidak digunakan dalam Al-Qur’an, namun bentuk kerjanya yudabbir diulangi dalam 4 ayat (10: 3, 31; 13: 2; 32: 5).
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. al-Sajdah : 5)

Konsep Adab
Adab dalam pengertian dasar berarti undangan kepada suatu perjamuan (banquet). Suatu perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah telah mengundang para tamu yang memang pantas untuk sebuah perjamuan. Sebagaimana perkataan Ibn Mas’ud tentang al-Qur’an: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah undangan Allah kepada suatu perjamuan ruhaniah di bumi, dan pencapaian ilmu tentangnya berarti memakan makanan yang baik di dalamnya.” Makna adab diperluas menjadi sebuah disiplin
Berkait pada makna adab, terdapat hikmah, adil, dan kebenaran (haqq). Haqq adalah kebenaran dan realitas sekaligus. Hikmah dalam terminologi yang berarti pengetahuan (ma’rifah) yang tegas dan pasti. al-Attas mengistilahkannya sebagai batas ilmu pengetahuan. Adil mempunyai makna untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, untuk dapat menjadi adil seseorang harus melalui pintu hikmah.
Dengan pengertian akan kata-kata kunci tersebut, makna adab diperluas secara lugas sebagai: “pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat sesorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dalam hubungannya dengan hakikat-realitas itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah intelektual maupun ruhaniah seseorang.”(5)
Manusia sebagai sebuah alam kecil (mikrokosmos) mempunyai dua aspek al-nafs al-natiqah (jiwa rasional) dan al-nafs al-hawaniyyah (jiwa hewaniah), mempunyai tuntutan untuk dapat menerapkan adab pada dirinya sendiri, yang menurut perumpamaan al-Ghazali dalam kitab ‘Ajibul Qulub sebagai sebuah pengaturan “Negara” di dalam diri. Sehingga adab bukan hanya tentang hubungan antara manusia dengan manusia, melainkan juga manusia dengan dirinya sendiri, dan secara lebih luas manusia dengan segala Ciptaan Tuhan, dan secara transendental dengan Penciptanya,

Tadbir berbasiskan Adab Sebagai Kerangka Teori Manajemen Islam
Memasukkan adab dalam proses tadbir membentuk sebuah proses manajemen yang bertolak-ukur pada kebenaran dan keadilan, yang dapat diistilahkan dengan “virtuous management”(6). Karakterteristik manajemen yang dihasilkan dalam kerangka tadbir dan adab, sbb:
  1. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada aspek teori dan praktik dalam manajemen sebagaimana juga dengan setiap elemen yang terdapat dalam setiap aspek.
  2. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada ragam macam dan tingkat dari tujuan-tujuan (goals).
Tujuan atau sasaran yang ditetapkan manajemen harus dievaluasi melalui kacamata adab, ditempatkan pada tempat yang tepat, membentuk suatu sistem hierarki yang kemudian menentukan metode dan strategi yang berbeda dalam keputusan manajemen. Terdapat pembedaan dalam hasrat (desire) alamiah dan hasrat yang ingin didapat, antara kebutuhan dasar (dharuriyah), keinginan (hajiyah), dan pelengkap (tahsiniyah). Dalam Islam tujuan terakhir (ultimate goal) adalah memperoleh kebahagiaan dengan melihat Allah swt di hari akhir. Untuk alasan inilah maka tidak ada mengejar tujuan yang bersifat tidak agamis, atau didorong oleh pertimbangan pragmatis dan azas manfaat.
3. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada ragam wewenang dan strata dalam manajemen dengan memberikan perhatian khusus secara mengakar pada diri pribadi.
Penjelasan yang saksama tentang ini dapat dipahami dengan memperhatikan perkataan al-attas, “Maksud dan tujuan etika di dalam Islam pada akhirnya adalah untuk perseorangan,” dan “Kita mengetahui bahwa di dalam analisa terakhir (ultimate) adalah selalu untuk diri pribadi,” dan “…setiap orang pada kenyataannya memang harus memikirkan dan berbuat untuk keselamatan nya sendiri, karena tiada orang lain dapat dibuat bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya.”(7) Apa yang dimaksudkan ini oleh al-Attas, dijelaskan oleh Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud, “walaupun dalam analisis terakhir, kesuksesan dan kebahagiaan utama dari seseorang adalah bersifat pribadi, ranah dalam mencapainya tidak dimaksudkan terbatas pada aspek pribadi tetapi menggabungkan beraneka segi perannya: sebagai anak kepada orang tua, pekerja dalam perusahaan, suami, saudara, warga negara dan anggota dari komunitas internasional.”
Dengan dasar ini maka masalah-masalah yang timbul atas dasar kecurigaan dan ketidakpercayaan seperti, antara pemilik modal dan pelaksana (principal-agent problem), antara manajemen dan bawahan, dan sejumlah permasalaah lainnya dapat diposisikan dengan tepat dan diselesaikan dengan baik.

Penutup
Manajemen berbasis adab dapat menjadi sebuah jawaban atas manajemen yang dikembangkan barat yang mengakar pada “liberal art(8)–disebut “liberal” karena manajemen berurusan dengan pokok-pokok ilmu, pengetahuan tentang diri, kebajikan, dan kepemimpinan; “art” karena berkenaan dengan praktik dan aplikasi – setiap kata kunci tersebut didewesternisasi, dihilangkan makna-makna yang lahir dari pandan-hidup Barat, untuk kemudian dilakukan pemaknaan kembali menurut pandangan-hidup Islam, sebagaimana yang telah dilakukan sebagiannya diatas.

_______________________________
1 Makalah ini merupakan review atas tulisan, Ismail, M. Zaidi. Tadbir and Adab As Constitutive Elements of Management: A Framework For Islamic Theory of Management. Al-Shajarah. KL: Istac, 2000.
2 Griffin & Ebert, Pengantar Bisnis, Jakarta: Prenhallindo, 2002, hlm.154. Buku referensi awal untuk semua anak FEUI
3 Drucker, Peter F. The Essential Drucker: Selections From the Management Works of Peter F. Drucker. HarperCollins Publisher. 2001. hlm. 10.
4 Ismail, Op. Cit. hlm. 323
5 Al-Attas, S.M.N. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Pent. Haidar Bagir. Bandung: Mizan. 1990. hlm. 63
6 Al-Attas, S.M.N. menyebut, “all Virtue (kebajikan/fadilah) are religious” (Prolegomena to The Metaphysics of Islam. KL: ISTAC. 2001, hlm. 34)
7 Al-Attas, S. M. N. Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka. Hlm. 334
8 Drucker, Op. Cit. hlm. 13

Minggu, 01 Juni 2008

Pendidikan Entrepreneurship untuk Generasi Muda

Pendidikan Entrepreneurship untuk Generasi Muda
Kontribusi dari Administrator
Jumat, 12 Januari 2007

Pendidikan Entrepreneurship untuk Generasi Muda: Pengalaman di Luar Negeri. Oleh Antonius Tanan Pendidikan entrepreneurship bukan sekadar sebuah tren, tetapi ini adalah sebuah kebutuhan dan keharusan bagi masyarakat yang ingin maju. Tidak heran bila program pendidikan entrepreneurship sudah marak dipromosikan dan dilakukan di negaranegara maju. Apa yang telah terjadi di luar negeri dapat menjadi contoh untuk kita semua. Pendididikan Entrepreneurship untuk Pelajar Sebuah LSM di Amerika Serikat yaitu NFTE (Network for Teaching Entrepreneurship) sejak tahun 1987 menolong masyarakat kelompok usia muda dari golongan ekonomi lemah dengan cara membangkitkan kreativitas entrepreneurship dalam diri mereka. Sampai dengan saat ini mereka telah melatih lebih dari 120.000 generasi muda dan memberikan lebih dari 3.700 sertifikat pengajar Entrepreneurship.
NFTE memiliki keyakinan bahwa Entrepreneurship bisa dajarkan dan melalui pendidikan entrepreneurship generasi muda dari golongan ekonomi lemah dapat ditingkatkan produktivitas ekonomi mereka dengan cara meningkatkan keterampilan bisnis, akademis dan keterampilan hidup (life skill) mereka. Untuk mencapai tujuannya NFTE antara lain melakukan penciptaan kurikulum pembelajaran entrepreneurship yang inovatif & praktis melalui pendekatan praktek (experiental) untuk kelompok usia muda dan juga para pengajarnya, melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi, sekolah-sekolah dan organisasi kemasyarakatan. Hasil yang Telah Dicapai Sejak tahun 2002, Harvard Graduate School of Education melakukan evaluasi hasil akhir yang berhasil dicapai oleh NFTE dengan melakukan pelatihan entrepreneurship di kalangan masyarakat kurang mampu dan berikut ini adalah laporan mereka. Fokus Riset: Akademik/Karir • Minat untuk masuk perguruan tinggi meningkat 32% & bull; Aspirasi bekerja meningkat 44% • Inisiatif membaca mandiri meningkat 4% • Perilaku kepemimpinan sebagai inisiator/ pendiri bisnis meningkat 8,5% • kepemimpinan sebagai seorang pemimpin meningkat 13,2 % •
Keyakinan mampu mencapai sasaran meningkat Keberhasilan NFTE ternyata mendapat pengakuan masyarakat karena pada tahun 2004 Steve Mariotti menjadi finalis dari Entrepreneur of The Year USA dan akhirnya ia mendapat penghargaan khusus dalam malam final Entrepreneur of 2The Year 2004 di Amerika Serikat. Pendidikan Entrepreneurship di Jenjang Perguruan Tinggi. Dalam sebuah laporan yang disampaikan pada acara EURAM atau European Academy of Management 2nd Annual Conference tanggal 9-11 Mei 2002 di Stockholm dalam sesi Innovative Research in Management, Christian Luthje Assistant Professor dari Technical University of Hamburg dan Nikolaus Franke, Professor dari Vienna University of Economics and Business Administration Institute of Entrepreneurship melaporkan bahwa pendidikan entrepreneurship di Amerika Serikat selama 40 tahun terakhir ini berkembang pesat sekali. Bila pada tahun 1960-an hanya tercatat 10 universitas yang melakukan Pendidikan Entrepreneurship namun pada tahun 1990-an sudah terdapat di 400 universitas dan pada tahun 2002 diperkirakan telah melampaui jumlah 700 universitas.
Pertumbuhan yang sama terjadi di negara-negara lain misalnya di Jerman. Pada tahun 1996 terdapat 106 Kursus Pelatihan Entrepreneurship dilakukan di 92 Universitas (Kofner, Merges & Schmidt 1999). Dalam laporan ini disampaikan berbagai temuan di berbagai tempat di dunia telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan entrepreneurship itu, antara lain ????? Sebuah survei di antara sekelompok mahasiswa yang mengikuti kursus introduksi entrepreneurship di sebuah Universitas di Amerika Serikat dengan ukuran sedang menemukan bahwa · 80 % dari mahasiswa mempertimbangkan untuk memulai bisnis sendiri ·3 dari 4 mahasiswa melaporkan bahwa mereka membuat rencana konkrit untuk memulai bisnis · 76% dari responden menyatakan bahwa kursus entrepreneurship memberikan dampak yang sangat besar dalam keputusan mereka untuk masuk dalam bisnis (Clark, Davis & Harnish 1984)
Pengamatan yang lain menunjukkan telah terjadi sebuah tingkat penciptaan bisnis yang tinggi di antara mahasiswa MBA yang mengikuti tiga atau lebih kursus Entrepreneurship di Universitas di Kanada (Mc Mullan, Long & Wilson 1985). Sedangkan sebuah studi di Inggris menyimpulkan bahwa pelatihan entrepreneurship telah mendorong dan mempercepat kegiatan kepada lebih dari separuh para pesertanya untuk membangun bisnis (Brown 1990) Sebuah pengamatan di kalangan mahasiswa Irlandia yang mengikuti student Entreprise Award telah menemukan bahwa kegiatan di atas memberikan dampak yang sangat penting dalam mereka mengambil keputusan karir (Fleming 1994). Studi yang dilakukan oleh Vesper & Mc. Mullan, 1997 menunjukkan bahwa pelatihan/ kursus entrepreneurship menolong para alumni perguruan tinggi untuk mampu membuat keputusan yang lebih baik dalam proses memulai bisnis.

http://www.ciputra.org Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 6 December, 2007, 22:11

Senin, 19 Mei 2008

Pilih "Kolam Besar" atau "Kolam Kecil"?

Ada yang bilang, perusahaan bisa diibaratkan sebagai kolam dan karyawan adalah ikannya. Asumsinya, makin besar ikan makin besar wewenang dan kekuasaannya. Dalam meniti karir, kita bisa memilih, mau jadi ikan besar di kolam kecil atau jadi ikan kecil di kolam besar. Atau mungkin jadi ikan besar di kolam besar dan kemungkinan- kemungkinan lainnya.

Yang pasti setiap pilihan memiliki tuntutan dan konsekuensinya masing-masing. Sebelum Kita menentukan pilihan, mungkin telaah berikut ini bisa dijadikan pertimbangan:

Nama Ikut Terangkat
Bila Kita bekerja di perusahaan besar yang sudah sangat mapan, maka berita baiknya di mata “pasar” gengsi dan nilai Kita juga ikut terangkat. Kita bisa memperkenalkan jabatan Kita dengan percaya diri. Begitu juga dalam melakukan negosiasi dengan pihak luar (pemasok, mitra dll) bargaining power Kita juga otomatis lebih tinggi dibandingkan bila Kita bekerja di perusahaan kecil.

Kita juga bisa berharap, mungkin suatu hari nanti Kita akan dibajak oleh perusahaan lain, atau paling tidak, Kita tidak akan terlalu sulit mencari pekerjaan di tempat lain setelah keluar dari perusahaan tersebut. Sayangnya, nama ini kadang tidak sejalan dengan gaji Kita. Bisa jadi setelah Kita tengok kanan-kiri, Kita yang telah bekerja sekian tahun di perusahaan besar ternyata mendapat gaji jauh lebih kecil daripada teman Kita yang bekerja di perusahaan kecil dengan jabatan serupa. Bila ini menjadi masalah, boleh saja Kita menjajaki peluang menjadi ikan besar di kolam kecil. Cari saat yang tepat dan perusahaan yang tepat, coba melamar untuk posisi yang lebih tinggi dengan meminta gaji lebih tinggi.


Sistem dan Prosedur
Perusahaan-perusaha an besar yang mapan biasanya telah menerapkan sistem dan prosedur (sisdur) yang baku dan teruji. Yang positif dari hal ini adalah bahwa hak, kewajiban dan tugas-tugas masing-masing karyawan sudah jelas. Kita tinggal menjalani saja dan tidak dituntut untuk menciptakan sisdur baru yang perlu trial dan error lagi. Demikian pula paket kompensasi (gaji, tunjangan dan jaminan lainnya) biasanya sudah terstruktur dengan baik dan dibuat mengikuti ketetapan pemerintah. Bila ini adalah tempat bekerja Kita yang pertama, maka Kita bisa belajar mengenali sisdur di berbagai departemen secara garis besarnya.

Negatifnya, dalam hal ini kerapkali sulit untuk mempelopori suatu perubahan. Bila Kita adalah seorang yang sangat kreatif dan berani mengambil terobosan-terobosan baru, rasanya Kita tidak akan terlalu diakomodir di perusahaan semacam ini, kecuali Kita berada di posisi puncak.

Spesialisasi, Mutasi dan Promosi
Di perusahaan besar dengan jumlah karyawan yang mencapai ratusan atau mungkin ribuan, masing-masing karyawan biasanya lebih diarahkan untuk menjadi spesialis sebagai lawan dari menjadi “si serabutan” bila Kita bekerja di perusahaan kecil. Di perusahaan besar, Kita bisa menjadi sangat trampil di satu bidang tertentu setelah bekerja beberapa tahun. Sementara di perusahaan kecil, kadang Kita dituntut untuk menangani beberapa jenis pekerjaan sehingga Kita bisa trampil dalam beberapa bidang sekaligus, bila Kita memang mau belajar banyak hal.

Di perusahaan kecil, persaingan untuk mendapatkan promosi atau naik jabatan, relatif lebih mudah. Si good performer akan mudah terlihat, sehingga jalan untuk dipromosikan lebih lapang. Di perusahaan besar, lebih berat karena jumlah pesaing lebih banyak dan kadang juga sulit bagi Kita untuk bisa terlihat. Bisa jadi Kita sudah menelurkan banyak prestasi, tetapi tetap tidak terlihat oleh atasan-atasan Kita. Persaingan ketat biasanya berarti kecenderungan untuk terjadinya permainan politik di kantor juga meningkat, sehingga mungkin Kita sulit naik jabatan karena memang ada pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan Kita mendapatkan promosi. Banyak yang bilang, untuk menjadi ikan besar di kolam besar, kompetensi saja mungkin tidak cukup, tetapi dibutuhkan juga suatu kematangan berpolitik.

Di perusahaan besar, terbuka peluang untuk mutasi ke bagian lain, baik yang diinginkan atau tidak. Bila Kita tidak perform di suatu departemen, entah karena salah penempatan atau lainnya, Kita mungkin akan dipindahkan ke departemen lain yang lebih sesuai dengan kompetensi Kita. Atau bila karir Kita sudah mentok di departemen terentu karena bos Kita juga tidak bergeming di posisinya, padahal prestasi Kita diakui, maka mungkin masih terbuka peluang bagi Kita untuk dimutasi sekaligus promosi ke jenjang lebih tinggi di departemen lain. Sedangkan di perusahaan kecil, karena organisasinya memang sederhana, Kita tidak punya banyak pilihan.

Last but not least, dalam kolam kecil ada tantangan untuk mengubah kolam kecil menjadi kolam besar! Kolam besar ya memang kolamnya sudah besar! Jadi, pilihan mana yang lebih baik? Kolam besar atau kolam kecil? Cuma Kita sendiri yang bisa memutuskan berdasarkan analisis terhadap kondisi dan segala atribut yang Kita miliki saat ini...


Adit N

Minggu, 18 Mei 2008

Cinta, Aku, dan Eksistensi

Jika cinta itu ada, aku ada
Jika cinta itu tiada, aku tetap ada
Jika aku ada, cinta itu ada

Aku adalah cinta, cinta aku
Cinta adalah aku, aku cinta
Jika aku tiada, tiada cinta

Siapa cinta aku?
Aku cinta siapa?

Senin, 05 Mei 2008

Manusia dan Kebebasan

A man can be free without being great, but no man can be great without being free.

(Kahlil Gibran)

Kemuliaan Manusia di antara mahluk Tuhan lainnya terletak pada kebebasan dalam bertindak. Jika malaikat terus beribadah tanpa pernah sela, itu bukan karena malaikat tidak mau untuk tidak beribadah melainkan dia tidak mempunyai kemauan selain kemauan untuk beribadah. Begitu juga setan, tidak dapat melangkah ke dalam dunia baik karena dinding takdir yang telah ditetapkan Allah atasnya buah kesombongan kepada diri sendiri.

Manusia dengan anugerah kebebasan yang diberikan mampu naik ke tangga malaikat merebut singgasana kemulian malaikat. Namun sebaliknya, manusia juga dapat menjadi setannya setan di kerajaan setan.

Kebebasan yang digunakan manusia mempunyai konsekuensi balasan baik dan buruk bagi dirinya. Jika kebebasan itu masih harus mendapatkan ganjaran, apakah hal seperti itu masih disebut sebagai kebebasan?

Kebebasan bukan merupakan kondisi merdeka/bebas dari setiap aturan atau konsekuensi dalam pengertian ‘hurriyah’. Namun, kebebasan manusia terletak pada usaha/effort dalam hidup yang dilakukannya dalam pengertian ‘ikhtiyar’, sebuah tindakan.

Kebebasan manusia dalam pengertian ikhtiyar terikat pada makna ikhtiyar itu sendiri, yakni ‘baik’, dari akar kata yang sama dengan khayara (khayara). Maka dari itu, pilihan-pilihan yang ada dalam kebebasan adalah pilihan-pilihan yang baik. Manusia dihadapkan pada usaha untuk memilih pilihan yang terbaik bagi dirinya.

Pilihan antara yang baik dan yang buruk tidak dapat dikatakan sebagai sebuah ikhtiyar, pilihan tersebut adalah sebuah kezaliman. Menzalimi diri sendiri bukanlah benar-benar keinginan/fitrah manusia. Manusia secara alami (the nature of man) berusaha untuk mendapatkan manfaat balik untuk dirinya. Hanya manusia pekak yang akan memilih untuk menzalimi dirinya sendiri.

Zalim (zulm) merupakan tindakan yang tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Mengambil yang buruk dan meninggalkan yang baik merupakan tindakan yang tidak mengindahkan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tempatnya buruk adalah ditinggalkan dan tempatnya yang baik adalah dipegang.

Zalim adalah lawan sifat dari adil, maka tindakan dalam makna kebebasan juga berarti tindakan dalam rangka adil untuk dirinya sendiri. Dan setiap kebaikan yang dilakukan merupakan bagian dari agama (all virtues are religious). Maka kebebasan juga merupakan sebuah tindakan yang bersifat keagamaan.

Wallahua’lam

Reza Baizuri

Telaah buku, Prolegomena to The Metaphysics in Islam, Syed M. Naquib Al-Attas, KL: ISTAC, 2001.

Artikel menarik terkait: kebebasan

Minggu, 27 April 2008

SAJAK PARA SANG WALI?

Para Sang Wali [1]

Kira-kira apa yang tersembunyi
di bawah kaki meja kerja para sang wali?

adakah tumpukan bangkai tikus
yang ususnya sempat mencerna
lumbung pahala?

atau sobekan-sobekan tanda tangan,
kucuran nol-nol yang bersijingkrak
dari amplop ke tempurung tengkorak kepalanya?

Kira-kira berapa persen saraf hatinya
dibius proporsi jeritan para paria?

Nb: sajak ini untuk satu berita di kompas (24 April 2008)
yang menyatakan Ketua DPR tidak mengijinkan pihak KPK
memeriksa meja kerja Amin Nasution.
hahaha.
di kategori "Kabar Burung dari Luar Istana"-nya blalang
http://asharjunanda r.wordpress. com
Makin aneh saja Indo-tercelaka ini.
salam
blalang_kupukupu