Kamis, 26 Maret 2009

Tadbir dan Adab Sebagai Kerangka Teori Manajemen Islam

Maklum di khayalak ramai, terutama khayalak dengan latar pendidikan ekonomi atau yang berkecimpung di area bisnis, ketika ditanyakan, “apa itu manajemen?” Maka mereka akan kompak menjawab, “manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan (PODC, dalam istilah lebih popular POAC) sumber daya perusahaan untuk mencapai sasarannya”(2). Menurut KBBI dan Kamus Encarta juga mirip seperti itu.
Berbeda dengan jawaban diatas, Peter Drucker menyatakan, “Management is about human beings”(3). Manajemen berkisar pada aktivitas manusia untuk mampu mengerjakan tugasnya, untuk membuat kekuatannya efektif dan kelemahannya tertutupi. Dengan pengertian Drucker, manajemen inheren ada pada manusia, dan bukan lahir dari Perang Dunia I ketika banyak negara sedang berpikir tentang “manajemen” menyerang dan mempertahankan diri dari serangan negara lawan. Oleh itu, pengertian yang benar akan manajemen perlu untuk dipahami oleh praktisi manajemen, dalam kasus ini, semua manusia.

Konsep Tadbir
Manajemen, administrasi, governance, dalam bahasa arab sebagai salah satu arti dari kata “tadbir”, bentuk masdar (verbal noun) dari kata kerja “dabbara al-‘amr”, untuk menyelesaikan urusan sampai akhir. Pengertian istilah yang komprehensif diberikan oleh al-Sayyid al-Sharif ‘Ali al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya al-Ta’rif: “al-tadbir al-nazar fi al-‘awaqib bi ma’rifat al-khayr”, menguji/memeriksa akibat-akibat (hasil) dengan mengetahui apa yang baik. Dan, menaruh perkara dengan pertimbangan ilmu tentang akibat-akibat yang dihasilkan (Ijra’ al-‘umur ‘ala ‘ilm al-‘awaqib).
Zaidi merumuskan kembali definisi tadbir sebagai: “pertimbangan seksama intelektual atas akibat (hasil) dari sebuah urusan, kemudian diikuti dengan implementasi jika akibat tersebut adalah baik-tepat atau penolakan jika hasil diperkirakan akan buruk.”(4)
Dengan pengertian tersebut, ada dua aspek penting tadbir dalam pemahaman pemikir muslim otoritatif: Satu, sentralitas hasil akhir (outcomes) dan proses menuju kepadanya, yang oleh itu disebut tadbir. Dua, proses yang dilakukan dan tujuan yang diharapkan merupakan sesuatu yang baik (khayr). Baik bukan dalam arti memilih sesuatu diantara banyak pilihan, tetapi baik dalam arti mencari yang tepat-baik (praiseworthy). Disini, tadbir didasarkan pada adab.
Kata tadbir memang tidak digunakan dalam Al-Qur’an, namun bentuk kerjanya yudabbir diulangi dalam 4 ayat (10: 3, 31; 13: 2; 32: 5).
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. al-Sajdah : 5)

Konsep Adab
Adab dalam pengertian dasar berarti undangan kepada suatu perjamuan (banquet). Suatu perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah telah mengundang para tamu yang memang pantas untuk sebuah perjamuan. Sebagaimana perkataan Ibn Mas’ud tentang al-Qur’an: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah undangan Allah kepada suatu perjamuan ruhaniah di bumi, dan pencapaian ilmu tentangnya berarti memakan makanan yang baik di dalamnya.” Makna adab diperluas menjadi sebuah disiplin
Berkait pada makna adab, terdapat hikmah, adil, dan kebenaran (haqq). Haqq adalah kebenaran dan realitas sekaligus. Hikmah dalam terminologi yang berarti pengetahuan (ma’rifah) yang tegas dan pasti. al-Attas mengistilahkannya sebagai batas ilmu pengetahuan. Adil mempunyai makna untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, untuk dapat menjadi adil seseorang harus melalui pintu hikmah.
Dengan pengertian akan kata-kata kunci tersebut, makna adab diperluas secara lugas sebagai: “pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat sesorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dalam hubungannya dengan hakikat-realitas itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah intelektual maupun ruhaniah seseorang.”(5)
Manusia sebagai sebuah alam kecil (mikrokosmos) mempunyai dua aspek al-nafs al-natiqah (jiwa rasional) dan al-nafs al-hawaniyyah (jiwa hewaniah), mempunyai tuntutan untuk dapat menerapkan adab pada dirinya sendiri, yang menurut perumpamaan al-Ghazali dalam kitab ‘Ajibul Qulub sebagai sebuah pengaturan “Negara” di dalam diri. Sehingga adab bukan hanya tentang hubungan antara manusia dengan manusia, melainkan juga manusia dengan dirinya sendiri, dan secara lebih luas manusia dengan segala Ciptaan Tuhan, dan secara transendental dengan Penciptanya,

Tadbir berbasiskan Adab Sebagai Kerangka Teori Manajemen Islam
Memasukkan adab dalam proses tadbir membentuk sebuah proses manajemen yang bertolak-ukur pada kebenaran dan keadilan, yang dapat diistilahkan dengan “virtuous management”(6). Karakterteristik manajemen yang dihasilkan dalam kerangka tadbir dan adab, sbb:
  1. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada aspek teori dan praktik dalam manajemen sebagaimana juga dengan setiap elemen yang terdapat dalam setiap aspek.
  2. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada ragam macam dan tingkat dari tujuan-tujuan (goals).
Tujuan atau sasaran yang ditetapkan manajemen harus dievaluasi melalui kacamata adab, ditempatkan pada tempat yang tepat, membentuk suatu sistem hierarki yang kemudian menentukan metode dan strategi yang berbeda dalam keputusan manajemen. Terdapat pembedaan dalam hasrat (desire) alamiah dan hasrat yang ingin didapat, antara kebutuhan dasar (dharuriyah), keinginan (hajiyah), dan pelengkap (tahsiniyah). Dalam Islam tujuan terakhir (ultimate goal) adalah memperoleh kebahagiaan dengan melihat Allah swt di hari akhir. Untuk alasan inilah maka tidak ada mengejar tujuan yang bersifat tidak agamis, atau didorong oleh pertimbangan pragmatis dan azas manfaat.
3. Pengenalan dan pengakuan yang tepat pada ragam wewenang dan strata dalam manajemen dengan memberikan perhatian khusus secara mengakar pada diri pribadi.
Penjelasan yang saksama tentang ini dapat dipahami dengan memperhatikan perkataan al-attas, “Maksud dan tujuan etika di dalam Islam pada akhirnya adalah untuk perseorangan,” dan “Kita mengetahui bahwa di dalam analisa terakhir (ultimate) adalah selalu untuk diri pribadi,” dan “…setiap orang pada kenyataannya memang harus memikirkan dan berbuat untuk keselamatan nya sendiri, karena tiada orang lain dapat dibuat bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya.”(7) Apa yang dimaksudkan ini oleh al-Attas, dijelaskan oleh Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud, “walaupun dalam analisis terakhir, kesuksesan dan kebahagiaan utama dari seseorang adalah bersifat pribadi, ranah dalam mencapainya tidak dimaksudkan terbatas pada aspek pribadi tetapi menggabungkan beraneka segi perannya: sebagai anak kepada orang tua, pekerja dalam perusahaan, suami, saudara, warga negara dan anggota dari komunitas internasional.”
Dengan dasar ini maka masalah-masalah yang timbul atas dasar kecurigaan dan ketidakpercayaan seperti, antara pemilik modal dan pelaksana (principal-agent problem), antara manajemen dan bawahan, dan sejumlah permasalaah lainnya dapat diposisikan dengan tepat dan diselesaikan dengan baik.

Penutup
Manajemen berbasis adab dapat menjadi sebuah jawaban atas manajemen yang dikembangkan barat yang mengakar pada “liberal art(8)–disebut “liberal” karena manajemen berurusan dengan pokok-pokok ilmu, pengetahuan tentang diri, kebajikan, dan kepemimpinan; “art” karena berkenaan dengan praktik dan aplikasi – setiap kata kunci tersebut didewesternisasi, dihilangkan makna-makna yang lahir dari pandan-hidup Barat, untuk kemudian dilakukan pemaknaan kembali menurut pandangan-hidup Islam, sebagaimana yang telah dilakukan sebagiannya diatas.

_______________________________
1 Makalah ini merupakan review atas tulisan, Ismail, M. Zaidi. Tadbir and Adab As Constitutive Elements of Management: A Framework For Islamic Theory of Management. Al-Shajarah. KL: Istac, 2000.
2 Griffin & Ebert, Pengantar Bisnis, Jakarta: Prenhallindo, 2002, hlm.154. Buku referensi awal untuk semua anak FEUI
3 Drucker, Peter F. The Essential Drucker: Selections From the Management Works of Peter F. Drucker. HarperCollins Publisher. 2001. hlm. 10.
4 Ismail, Op. Cit. hlm. 323
5 Al-Attas, S.M.N. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Pent. Haidar Bagir. Bandung: Mizan. 1990. hlm. 63
6 Al-Attas, S.M.N. menyebut, “all Virtue (kebajikan/fadilah) are religious” (Prolegomena to The Metaphysics of Islam. KL: ISTAC. 2001, hlm. 34)
7 Al-Attas, S. M. N. Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka. Hlm. 334
8 Drucker, Op. Cit. hlm. 13